Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Aksi Damai di Nabire Berujung Represif: Mahasiswa dan Warga Desak Penutupan PT Freeport Indonesia

Senin, 07 April 2025 | 02:31 WIB | 0 Views Last Updated 2025-04-19T04:09:41Z












Nabire, Kapiwuunews.org – Ribuan massa aksi dari Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM-UP) bersama masyarakat Nabire menggelar aksi damai pada Senin, 7 April 2025. Aksi ini dilakukan di beberapa titik kumpul, yakni Jepara II, Pasar Karang, Jalan Kusuma Bangsa, dan Siriwini, dengan tujuan akhir menuju Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi (DPRP) Papua Tengah di Nabire.


Dalam aksinya, massa menyuarakan tuntutan utama, yakni penutupan PT Freeport Indonesia yang dinilai sebagai aktor utama dalam pelanggaran kemanusiaan di tanah Papua, khususnya di wilayah Nabire. Mereka menilai keberadaan perusahaan tambang raksasa kotersebut telah menjadi simbol eksploitasi dan perampasan hak-hak rakyat Papua, terutama masyarakat adat Amungme dan Kamoro.


Namun, aksi damai yang dirancang secara kolektif ini tidak berjalan sesuai harapan. Di titik kumpul Jepara II, aparat gabungan TNI dan Polri langsung menghadang dan membubarkan massa aksi. Suasana yang awalnya damai berubah mencekam ketika tembakan gas air mata diarahkan ke kerumunan massa. Akibatnya, lima orang mengalami luka-luka dan terpaksa dirawat secara darurat.


Situasi serupa juga terjadi di Siriwini, di mana massa yang hendak bergabung menuju titik utama dihadang secara represif, menyebabkan beberapa peserta luka-luka. Sementara itu, di kawasan Karang Mulia, sejumlah peserta aksi sempat ditahan oleh aparat, namun kemudian dipulangkan tanpa proses hukum lebih lanjut.


Dalam orasi yang berlangsung di Pasar Karang, massa mendesak aparat kepolisian agar kembali pada tugas pokoknya: mengayomi dan melindungi rakyat, bukan membungkam suara mereka. "Jangan rusak demokrasi di atas tanah ini dengan tindakan brutal dan represif," teriak salah satu orator dari atas mobil komando. Ia juga menegaskan bahwa masa depan Papua ada di tangan generasi muda—pelajar dan mahasiswa—serta mama-mama Papua yang terus menyuarakan keadilan tanpa rasa takut. “Jangan pernah takut kepada Republik ini,” lanjutnya.









Koordinator Umum aksi, Yance Pugao, bersama Wakil Koordinator Lapangan, Apnel Selegani, memimpin jalannya aksi. Dalam pernyataan sikap yang dibacakan di hadapan massa, mereka menuntut:


  1. Menutup PT Freeport Indonesia dan mengembalikan hak kedaulatan kepada rakyat Amungme dan Kamoro.  
  2. Menghentikan operasi militer dan menarik seluruh pasukan organik maupun non-organik dari tanah Papua.  
  3. Menghentikan proyek strategis nasional di Merauke yang mengancam eksistensi masyarakat adat.  
  4. Menutup seluruh perusahaan ilegal yang beroperasi di wilayah Papua.  
  5. Mengakhiri pendekatan militeristik dan tindakan brutal aparat TNI-Polri yang merusak demokrasi.  
  6. Memberikan hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua sebagai wujud demokrasi sejati.


Menanggapi aksi tersebut, Kapolres Nabire melalui pernyataan tertulis menyebut bahwa demi menjaga ketertiban umum dan kenyamanan masyarakat, kepolisian tidak mengeluarkan izin untuk aksi demonstrasi tersebut. Sebanyak 460 personel gabungan TNI-Polri disiagakan di enam titik strategis Kota Nabire, dengan tambahan 60 personel cadangan sebagai antisipasi jika eskalasi massa meningkat.


Pihak keamanan beralasan bahwa aksi ini dapat mengganggu aktivitas publik dan arus lalu lintas. Namun, di mata para demonstran, tindakan aparat justru menjadi bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat dan pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi.



(**)

×
Berita Terbaru Update